Badrianto dan Ikhsanudin, Perajin Wayang Suket dari Kecamatan Rembang

[ad_1]

Badrianto dan Ikhsanudin, Perajin Wayang Suket dari Kecamatan Rembang


By:
Date Uploaded:
Description: Badrianto dan Ikhsanudin, Perajin Wayang Suket dari Kecamatan Rembang

Dibuat dari Rumput Kasuran yang Tumbuh Saat Bulan Sura

Wayang suket mungkin belum sepopuler wayang kulit ataupun wayang golek. Tak heran bila cukup jarang yang bisa membuat wayang suket. Bahkan di Purbalingga, baru ada dua perajin wayang suket yang kini tinggal di Kecamatan Rembang.

MINIM REGENERASI : Ikhsanudin merupakan salah satu perajin wayang suket di Purbalingga. (GALUH WIDOERA/RADARMAS)

GALUH WIDOERA, Purbalingga

Kesang Wikrama atau lebih dikenal dengan Mbah Gepuk yang semasa hidupnya tinggal di Desa Bantarbarang Kecamatan Rembang, menyulap rumput kasuran menjadi berbagai bentuk tokoh wayang. Bahkan pada tahun 1995, Mbah Gepuk berhasil mengadakan pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta.

Sepeninggalnya Mbah Gepuk pada tahun 2002, keahliannya tidak “mati”. Ini karena, Mbah Gepuh sudah punya penerus, yakni cucunya Badrianto dan fansnya Ikhsanudin.

Berkat ilmu yang didapat dari Mbah Gepuk, dua muridnya akhirnya mahir menyulap rumput jadi wayang.

Dikatakan Badrianto, dia sudah belajar menganyam dari kakeknya sejak kelas 2 Madrasah Tsanawiyah. “Waktu mbah bikin wayang, saya lihat dan mengikuti. Setelah selesai mengerjakan, saya baru meminta pendapat dari mbah,” kata Badrianto.

Sementara Ikhsanudin belajar otodidak menganyam rumput dari buku pameran Mbah Gepuk. Diam-diam karena kekagumannya pada hasil karya Mbah Gepuk, Ikhsan kecil belajar menganyam rumput sesuai gambar di buku.

“Tahun 90an, harga wayang Mbah Gepuk sekitar Rp 15 ribu, nominal yang besar pada saat itu. Dari pada beli, saya akhirnya buat sendiri. Ketertarikan saya pada wayang suket setelah nonton pameran Mbah Gepuk. Sepulang dari pameran, buku Mbah Gepuk dibagikan gratis. Saya belajar motifnya dari buku tersebut,” kata Ikhsan.

Dikatakan Ikhsan, rumput yang digunakan untuk membuat wayang ternyata bukan rumput biasa. Badri membuat wayang dari rumput kasuran atau rumput yang biasanya tumbuh di bulan sura. Sedangkan Ikhsan karena kesulitan mendapatkan bahan baku rumput kasuran, dia membuatnya dengan rumput biasa.

“Kalau mas Badri, selain menanam sendiri juga sering mencari sendiri rumput kasuran. Saya kesulitan mencarinya, karena itu saya coba berbagai rumput yang tumbuh di desa,” terang Ikhsan.

Dalam mengerjakan wayang, Badri membutuhkan waktu sekitar tiga hari sampai satu minggu. Sedangkan Ikhsan sekitar satu minggu sampai satu bulan. “Mas Badri sudah lihai dan bahan bakunya juga bagus. Saya saat ini masih belajar,” terang Ikhsan, warga Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang.

Dalam membuat wayang suket, Badri dan Ikhsan tidak asal-asalan. Mereka memperhatikan detail wayang. Seperti ornamen pada mahkota, jarit, kalung, kelatbahu, tali praba, uncal wastra sampai gelang kaki dibikin indah.

“Jadi lamanya pengerjaan tergantung rumit tidaknya motif pada wayang yang dikerjakan. Terkadang pengerjaan wayang jauh melebihi target,” terang Badri yang tinggal di Desa Wlahar, Kecamatan Rembang

Hasil karya Badri kini banyak dipajang di dinding-dinding kantor pemkab dan museum di Purbalingga. Bahkan wayang suket hasil buatan Badri sering dijadikan oleh-oleh untuk tamu Pemkab Purbalingga.

Sementara wayang suket karya Ikhsan sudah sampai luar negeri. Ini berkat kenalannya Geoffrey Cormier, seorang puppeteer (dalang) di Carolina Selatan, Amerika Serikat. “Tahun 2013, Geoffrey datang ke Desa Bantarbarang untuk melihat dan belajar sendiri proses kreatif membuat wayang suket. Hingga akhirnya, hasil karya kami dibawa dia pulang ke negerinya,” tuturnya.

Meski wayang suket saat ini belum terlalu dikenal masyarakat, namun Badri maupun Ikhsan memiliki keinginan tradisi menganyam wayang suket bisa tumbuh di desanya. Sebab, baru mereka berdua yang menjadi perajin wayang suket di Purbalingga.

“Sebagai pecinta seni, kami ingin memiliki galeri sendiri dan sanggar untuk belajar wayang suket. Kalau bisa, wayang suket juga digunakan untuk pementasan. Agar gaungnya lebih menggema dan tidak punah ditelan masa,” harapnya. (*/sus)

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.